Isu Feminisme dan Mitos Kartini

0
72
Isu Feminisme dan Mitos Kartini

Kaji Karno
Budayawan Muslim, tinggal di Pasuruan, Jawa Timur

Tatkala kaum perempuan ‘modern’ menyadari dan disertai dengan keterkejutan yang luar biasa, bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia ini perempuan berhak dan mempunyai kesetaraan hidup dengan laki-laki –melalui pengenalannya dengan gerakan kesetaraan ‘gender’ di Barat- serta merta mereka memandang Islam sebagai musuh kaum perempuan.

Mengapa harus Islam yang menjadi tumpahan kemarahan kaum perempuan? Kenapa tidak menoleh ke sejarah Jepang misalnya seperti yang ditulis Bung Karno dalam ‘Sarinah’ Atau kemarahan itu tidak kepada Nietzshe atau Colette Dowling? Juga kepada para ibu di seluruh Bumi, karena dari mereka pertumbuhan bayi laki-laki maupun perempuan dapat menegaskan dirinya setelah dewasa?

Daftar kemarahan itu amat panjang dan ujung-ujungnya dapat saja protes itu  sebenarnya ‘protes’ kepada Islam.

Feminisme

Istilah feminism pertama kali muncul dan dipakai oleh para pendukung ‘pembebasan wanita’ berkenaan dengan keinginan mewakili gagasan-gagasan penulis ‘pencerahan’ yang digemari oleh Mary Wollstonecraft. Feminisme digerakkan oleh perasaan ketidakadilan dalam diri kaum perempuan yang merasa tersinggung atas penganugerahan hak-hak tertentu kepada kaum laki-laki (Jill Stepenson, 1995).

Sentuhan feminism di Indonesia ketika Raden Ajeng Kartini (1879-1904) kagum dengan hiruk pikuknya gerakan pembebasan wanita di Barat. Peristiwa akulturasi budaya ini tidak ada artinya seandainya kumpulan surat-surat Kartini yang ditujukan kepada teman-temannya – kebanyakan orang-orang Belanda – tidak diterbitkan oleh Mr.J.H.Abendanon pada tahun 1911, yang diberi judul “Door Duitsternis Tot Licht”

Dari kumpulan surat-surat itu (sebenarnya ada banyak surat yang di-edit dan tidak diterbitkan oleh Abendanon) rupanya pemahaman Kartini tentang kedudukan wanita di Barat tidak lebih sama dengan peran wanita di lingkungan tembok-tembok ‘kadipaten’ tempat tinggalnya, yang memperoleh ketidakadilan dari laki-laki. Padahal di luar tembok ‘bangsawan jawa’ di wilayah Jepara bagian atas, anak-anak perempuan setiap sore berangkat ‘ngaji’. Bahkan Kartini tidak faham sejarah bahwa Ratu Kalinyamat pernah mengerahkan tentaranya ‘berjihad’ ke Ambon bersama ‘tentara Pasuruan’ untuk mengusir Portgis pada tahun 1554. (H.J.De Graaf, “Awal Kebangkitan Mataram”, 1985, dalam Kaji Karno, “Pasuruan dalam Singgungan Sejarah Nusantara: Essay Sosio Kultural” belum diterbitkan).

Beberapa aktivis perempuan Indonesia memberi status ontologik feminisme dengan memandang Islam sebagai hambatan emansipasi perempuan. Fenomena ini mudah diduga, karena pandangan bahwa Islam sebagai factor yang melegimitasi dominasi laki-laki atas perempuan, diwarisi oleh jalan fikiran Kartini yang diadopsi dari pemahaman makna, symbol-simbol social di lingkungannya, dipadukan dengan ‘mode’ masyarakat Eropa pada periode feminism ‘klasik’. Ide-ide feminisme yang berasal dari ‘pencerahan’ yang memiliki keyakinan tentang perlunya membebaskan individu dari tekanan kekuasaan dan agama (baca: Islam).

Hal ini terekam dengan baik yaitu surat yang dikirimkan kepada nyonya Nellie van Kol, Agustus 1901, “Kami telah melihat banyak sekali keadaan yang menyedihkan dalam perkawinan Jawa. Hal ini berhubungan erat dengan hak laki-laki yang sangat kejam dalam hokum Islam. Penderitaan perempuan dalam ikatan semacam itu, dan penderitaan sejumlah anak yang lahir dari perkawinan itu telah membakar dan mencambuk jiwa kami untuk memberontak melawan keadaan itu” (Sulastin Sutrisno, “Surat-Surat Kartini”, 1985, hal.121).

Prasangka terhadap agama (baca:Islam) pada periode feminism ‘klasik’ era Raden Ajeng Kartini jejak-jejaknya masih tampak jelas dan sedang ditapaki oleh aktivis perempuan Indonesia pada hari ini.

Dalam wawancara di Journal ‘Ulumul Qur’an no.3 vol.VI, tahun 1995, Wardah Hafidz menagatakan: ‘selama ini perempuan selalu disefinisikan melalui konsep fiqih dengan memakai landasan tafsir yang menagndung bias misogini (kebencian terhadap perempuan. pen.). Seperti yang dikatakan Sashiko Murata dalam bukunya, ‘The Tao of Islam’ berpandangan bahwa sebaiknya para aktivis feminism perlu mempelajari Islam secara tuntas, karena otoritas tertinggi dalam Islam adalah al Qur’an dan As Sunnah, bukan oleh lembaga-lembaga agama, semisal lembaga gereja dalam agama Kristen.

Persoalannya bukan lantaran kurangnya pengetahuan tentang Islam, dan memang tidak diperlukan mereka, karena tujuan satu-satunya adalah  ‘melawan Islam’, dan memposisikan Islam sebagai medan pertempurannya.

Kegairahan-kegairahan sejak zaman Kartini hingga ‘demo-demo banci’ atau statemen pejabat pemerintah yang anti FPI (Islam) dan ‘mendorong’ dibubarkannya FPI sebetulnya adalah ‘hidden resistense’ terhadap Islam dengan berbagai isu yang seakan-akan berbeda satu sama lain. Ghoirul Islam dalam memandang Islam sebagai sasaran, tidak mempedulikan; apakah Islam ‘salafi’, ‘wahabi’, sunny, syi’ah, NU, atau Muhammadiyah. Pokoknya Islam. Memang tidak dipungkiri ada satu atau dua lembaga Islam yang mau dan memang ‘ingin’ dijadikan ‘gedibal’ ghoirul-Islam.

Kegairahan semacam ini yang ditangkap oleh Raden Ajeng Kartini yang selanjutnya dipakai untuk mengkritisi masyarakat dan agamanya (Islam). Kesadaran feminism Kartini yang semula bersifat logos mengalami metamorphosis menjadi mitos oleh keinginan pengagum-pengagumnya. Mitos banyak didefinisikan oleh para ahli mulai dari E.Bethe, Ernst Cassirer, Stoics, George Sorel, Talcott Parson, sampai kepada Van der Leew.

Mitos Kartini

Mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial, dan dianggap sebagai ‘filsafat primitif’. Mitos merupakan symbol emosional. ‘Ritual’ pemujaan kepada Raden Ajeng Kartini merupakan pengulangan ‘sentimen’ secara ‘ajeg’ dan berguna untuk memperkuat solidaritas kelompok. Untuk konteks Jawa, kebutuhan-kebutuhan itu berhubungan dengan sosialisasi sebuah panutan symbol ‘abangan’ dan ‘priyayi’, yang keduanya merupakan kategorisasi struktur social. Abangan dan priyayi sama-sama menganut ‘kepercayaan asli’, hanya saja, ‘abangan’ adalah ‘sudra’ dan ‘priyayi’ menempati strtata yang lebih tinggi dalam format social ‘kejawen’.

Ketidak fahaman Kartini terhadap Islam, dimanfaatkan oleh masyarakat ‘non-santri’. “Tentang ajaran Islam tidak dapat saya ceritakan Stella” demikian suratnya tertanggal 6 Nopember 1899. “Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana” Dan dalam surat yang sama Kartini mengeluh; “Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama”

Sampai hari ini di kalangan masyarakat yang merasa mempunyai kesamaan ‘nilai’ dengan RA Kartini, tidak mempedulikan apakah-apakah ide-ide itu sudah usang atau dalam banyak hal telah dipertanyakan tentang orisinalitasya, yang penting adalah bahwa kartini adalah symbol ‘resistensi’ terhadap Islam, semacam munculnya tokoh ‘Syeh Siti Jenar’ di zaman ‘Walisongo’ atau setidak-tidaknya ‘kepuasan aneh’ itu terpenuhi.

Gerakan feminism di Indonesia menjadikan Kartini sebagai ‘mitos’, dan di dalam segala hal mereka berlindung di bawah bayang-bayang Kartini, juga sebagai dasar titik tolak protes-protes mereka, penolakan mereka terhadap kodrat perempuan; bersuami, melahirkan, dan mahluk yang lemah.

Bagaimanapun, Kartini memperoleh kesadaran keperempuanannya dihari-hari terakhir hidupnya. Sepuluh hari sebelum kematiannya, Kartini mengirim surat kepada Nyonya R.M. Abendanon –yang biasa dipanggil ibu- tertanggal Rembang, 7 September 1904.

“Apa artinya lama ketika merasa kesakitan, bila bahagia yang demikian manisnya menjadi pahalanya? Saya sudah rindu benar menanti tangkai hati saya yang kecil itu” dan dilanjutkan dengan, “Keranjang popok, tempat tidur, semuanya siap di kamar kami menunggu kedatangan buah hati kami”

Pertanyaannya sekarang adalah; masihkah aktifis feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender diantaranya; menuntut perempuan jadi imam sholat yang makmum-nya laki-laki? Masihkan menggugat dan menghapus ‘lembaga perkawinan’, masihkan melarang wanita melahirkan?

Dan, masihkah Kartini dijadikan ‘mitos’ dan symbol kesetaraan gender oleh ‘bangsawan jawa’ dan kaum aktivis perempuan ? Ibu kandung Kartini, Ibu Ngasirah, adalah putri seorang Kyai dari Mayong, bahwa Kartini selalu melihat ‘ibu kandungnya’ istri Bupati Jepara yang notabene istri pertama (‘Garwo Padmi) diperlakukan seperti ‘babu’ mengasuh anak dari ‘istri kedua bupati’, dan selalu diposisikan di dapur.

Menjadi jelas, bahwa adat ‘bangsawan Jawa’-lah yang menyebabkan perkawinan jawa merendahkan perempuan. Bukan hukum Islam.